Dalam kasus sengketa PPN melibatkan PT LSS, Majelis Hakim menolak Banding Wajib Pajak, Pokok sengketa berupa koreksi atas Penyerahan yang PPN-nya Harus Dipungut Sendiri. Putusan ini menyoroti bagaimana risiko apabila tidak menyerahkan data yang diminta oleh DJP dalam proses pemeriksaan. Hal ini memberikan ruang bagi DJP untuk menggunakan data eksternal, bahkan data dari jenis pajak lain, sebagai alat penentuan omzet.
Pokok sengketa dalam sengketa ini berpusat pada validitas sumber data yang digunakan DJP. DJP berargumen bahwa karena PT LSS dianggap tidak kooperatif dalam menyerahkan Laporan Produksi yang diminta, Pemeriksa terpaksa mengaplikasikan Metode Tidak Langsung. DJP melakukan koreksi dengan menggunakan data Produktivitas Kebun yang dilaporkan sendiri oleh PT LSS dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) PBB Tahun 2016 sebagai standar kewajaran omzet. Rekonsiliasi antara potensi produksi di SPOP PBB dengan realisasi penyerahan PPN yang dilaporkan Wajib Pajak menghasilkan selisih yang dikoreksi sebagai tambahan peredaran usaha.
Koreksi Pemeriksa tidak hanya menyasar DPP PPN tetapi juga peredaran usaha PPh Badan. Dengan Metode Tidak Langsung, omzet wajar dibangun dari data SPOP PBB dan direkonsiliasi dengan penyerahan yang dilaporkan dan selisihnya ditetapkan sebagai tambahan peredaran usaha. Atas dasar tersebut DPP PPN merupakan turunan langsung dari omzet, penyesuaian tersebut otomatis membuat terdapat Objek PPN dan PPN terutang.
Sebaliknya, PT LSS menjelaskan bahwa SPOP PBB tidak hanya mencerminkan estimasi potensi produksi dan tidak berkorelasi dengan realisasi penjualan dan PPN terutang. Selain itu, PT LSS menegaskan bahwa pada tahun 2016 juga terjadi penurunan produktivitas riil terjadi karena faktor non-operasional, yaitu pergantian manajemen yang mengakibatkan hilangnya akses data operasional.
Sebelum sampai pada putusan, perlu dicatat bahwa sepanjang proses, PT LSS tidak mengajukan bantahan material yang memadai atas dasar penghitungan koreksi peredaran usaha PPh Final Pasal 4 ayat 2, sebesar 1% dari penghasilan bruto sesuai PP 46 tahun 2013 (UMKM) yang kemudian dijadikan basis penetapan PPN. Bahkan, atas sebelas SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang bersumber dari koreksi peredaran usaha PT LSS memilih untuk melunasi seluruhnya tanpa menempuh upaya hukum lebih lanjut.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menolak banding PT LSS. Majelis berpendapat bahwa dalil kesulitan mendapatkan data akibat pergantian manajemen adalah bantahan yang bersifat normatif dan tidak didukung oleh bukti konkret di persidangan. Selain itu, PT LSS telah menyetujui dan melunasi 11 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan koreksi peredaran usaha 1% sesuai dengan PP 46 Tahun 2013 sebagai basis koreksi DPP PPN. Bagi Majelis, tindakan pelunasan tersebut secara substansial merupakan pengakuan dan persetujuan implisit terhadap besaran omzet yang telah dikoreksi DJP. Dengan demikian, tidak terdapat alasan yang cukup bagi PT LSS untuk menyanggah koreksi DPP PPN yang merupakan turunan langsung dari koreksi peredaran usaha PPh tersebut.
Putusan ini menjadi preseden penting yang memvalidasi penggunaan SPOP PBB—data yang disajikan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tujuan pajak daerah/PBB—sebagai alat untuk pemeriksa melakukan koreksi.
Pelajaran pentingnya adalah Wajib Pajak harus menjamin konsistensi data lintas jenis pajak dan memprioritaskan penyediaan dokumen primer, seperti laporan produksi, untuk menghindari penggunaan metode tidak langsung yang dapat digunakan oleh DJP. Kegagalan mempertahankan posisi hukum yang konsisten antara sengketa PPh dan PPN terbukti menjadi faktor penentu kekalahan Wajib Pajak.
Kasus ini menjadi pengingat tegas bagi perusahaan, untuk memastikan sistem dokumentasi operasional dan keuangan terintegrasi dengan baik dan selalu siap untuk pemeriksaan. Ketiadaan satu dokumen kunci dapat berujung pada penggunaan metode non-standar oleh Pemeriksa dan pada akhirnya, penolakan Banding oleh Pengadilan Pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini